KESENJANGAN KOMUNIKASI
Kesenjangan yang terjadi sekarang ini merupakan akibat komunikasi.
Komunikasi yang sangat mempengaruhi adalah Teknologi Komunikasi. Dalam hal ini
di artikan kalau media massa yang sangat berpengaruh. Semakin banyak teknologi
baru, maka semakin besar pula kesenjangan yang terjadi di negara ini. Selain
itu, dengan adnya teknologi baru maka semakin besar pula keterbelakangan
masyarakat miskin.
Lebih lanjut ketika arus informasi media massa
ke suatu sistem sosial meningkat, kelompok penduduk dengan status sosial
ekonomi yang lebih tinggi, cenderung menerima informasi ini secara cepat
dibandingkan dengan kelompok yang berstatus lebih rendah, karena itulah
kesenjangan pengetahuan antara kelompak-kelompok tersebut cenderung bertambah
dari pada berkurang.
Masyarakat ekonomi kurang mampu yang kebanyakan
tidak bisa mengadopsi teknologi baru karena mereka berfikir bahwa mereka tidak
bisa membelinya, otomatis mereka tidak bisa menggunakan teknologi dan kurang
mendapatkan infromasi. Selain itu, ada masyarakat yang berusaha membelinya
tetapi sebelum mereka mendapatkannya muncul lagi teknologi baru lainnya. Maka
sulitlah masyarakat kecil untuk maju, jika mereka tidak bisa menggunakan
teknologi baru tersebut. Sekarang yang kita harus pikirkan bagaimana cara kita
untuk membantu masyarakat miskin tersebut, agar bisa mengadopsi teknologi
secara baik dan berjalan lurus. Misalnya ada teknologi, mereka bisa memakai dan
menggunakannya secara jalannya modernisasi?
Rogers (1974) beranggapan secara teoritis dan
pragmatis hal ini amat bermanfaat untuk menggeneralisasi hipotesa kesenjaagan
pengetahuaan kedalam rumusan yang lbih luas: “Upaya komunikasi yang
berorientasi pada perubahan selama ini, cenderug memperlebar kesenjanagan dalam
sejumlah variabel pengaruh antara unsur khalayak yang mempunyai status sosial
ekonomi tinggi dengan yang berstatus di bawahnya”.
Dengan demikian, analisa hipotesa “kesenjangan
akibat pengaruh komunikasi” yang tidak terbatas baik pada media massa terentu
atau hanya pada pengaruh pengetahuan. Barangkali hal ini bahkan tidak perlu
dibatasi pada status sosial ekonomi: variabel alternatif dapat berupa kemampuan
baca tulis: keanggotaan sosial, etnis atau keagamaan minoritas; penduduk
desa-kota dan yang lainnya (meskipun mungkin terdapat tumpang tindih di antara
variabel-variabel tersebut dengan status sosial ekonomi).
DAMPAK KESENJANGAN KOMUNIKASI : RAGAM SISTEM
KOMUNIKASI DAN DAMPAK KESENJANGAN KOMUNIKASI
Sistem politik yang bagaimanapun
sifat dan bentuknya akan menampakkan pola tetap.Dalam kajian ilmu komunikasi
dijumpai empat macam sistem komunikasi, yaitu sistem otoriter, sistem liberal,
sistem tanggung jawab sosial dan sistem komunis.
Setiap sistem menampakkan karakter
berbeda yang memberi warna dominan terhadap proses komunikasi yang berada dalam
lingkup kekuasaan dan proses komunikasi yang berada dalam masyarakat.
Warna yang paling dominan terhadap
sistem komunikasi yaitu perilaku para penguasa sebagai pengelola sumber-sumber
komunikasi. Peran penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk mencapai
kebaikan publik.
Pemikiran-pemikiran yang
melegitimasi kekuasaan absolut tidak dapat bertahan, terutama setelah lahir
beberapa pemikiran tentang pemisahan kekuasaan.
Pemecahan untuk mewujudkan
masyarakat yang stabil ditawarkan suatu konsep pemikiran tentang liberalisme.
Pemecahan secara liberal mengandung makna, bahwa negara mengadakan pengawasan
terhadap kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh suatu lembaga yang menyalurkan
aspirasi rakyat yaitu lembaga legislatif.
Tawaran pemecahan secara liberal
pada dasarnya merupakan warna tersendiri dalam demokrasi, karena demokrasi
liberal mempunyai tanda-tanda spesifik.
Kebebasan dalam kesertaan mengelola
media massa tampak jelas dalam sistem liberal sebagai
sifat yang berseberangan dengan sistem totaliter atau sistem komunis.
Sistem social responsibility belum
dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem, karena tidak ada satu negara pun
yang mengaktualisasikan sistem ini.
Kondisi disintegratif dan tuntutan
penggantian sistem nilai (reformasi) sebagai akibat sikap perilaku elit
berkuasa yang berorientasi kepada kepentingan pribadi dan sifat perlakuan
diskriminatif.
Dua komponen dasar yang mendorong
timbulnya perombakan total (revolusi), yaitu: pertama, tuntutan emansipasi
untuk perbaikan hidup, dan kedua tuntutan masyarakat tentang moral.
Oleh sebab itu perombakan sebagai
produk elit infrastruktur yang merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan elit
berkuasa, karena setiap kebijaksanaan tidak mampu mengakomodasikan
kepentingan-kepentingan elit infrastruktur.
Persaingan (competition) merupakan
proses di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bersaing mencari
keuntungan.
Pada akhirnya terjadinya revolusi,
konflik dan persaingan bermuara pada dampak kurangnya komunikasi atau informasi
yang sampai pada infrastruktur komunikasi
OPINI: KOMPETISI POLITIK dan DISKRIMINASI
Oleh Andi A. Mallarangeng
Mahasiswa S3 bidang Ilmu Politik Northern
Illionis University Amerika Serikat
Pada sistem ekonomi maupun politik
yang tidak kompetitif seperti di Indonesia, harga yang harus dibayar untuk melakukan
diskriminasi terhadap golongan tertentu tidaklah seberapa dan karena itu
cenderung diabaikan. Di dalam sistem ekonomi yang monopolitik serta diwarnai
dengan pemberian kontrak proyek negara dan lisensi yang non-kompetitif dan
kolusif seperti ini seringkali kita dengar keluhan-keluhan tentang adanya diskriminasi
dalam promosi yang berdasarkan ras, agama, atau pun suku. Secara ada glass
ceiling bagi mereka yang berbeda ras, agama, ataupun suku dengan pemilik perusahaan.
Pada sistem politik kita, baik
politik pada tingkat elektoral maupun politik pada tingkat elit sangat tidak
kompetitif. Kalau pun suhu politik nampak memanas dalam mengantisipasi proses
suksesi kepemimpinan nasional, persaingan politik yang kompetitif tidaklah nampak,
dan kalaupun ada bersifat elitis dan tidak berhubungan dengan masa pemilih.
Dalam sistem politik semacam ini, rekrutment dan promosi pejabat-pejabat negara
cenderung bersifat like and dislike, menurut agenda mereka yang berkuasa.
Ketika agenda itu berdampak secara sistematis pada sesuatu kelompok atau
golongan, agenda itu menjadi diskriminatif
Pada sistem yang nonkompetitif
semacam ini, tidak ada mekanisme yang memaksa mereka yang berkuasa untuk
bersikap non-diskriminatif, bahkan terhadap golongan mayoritas. Kalau pun ada
perubahan dalam agenda politik yang berkuasa, perubahan itu cenderung berdampak
rotasi terhadap kelompok yang didiskriminasi karena adanya perubahan kalkulasi
kepentingan politik yang berkuasa, perubahan itu cenderung berdampak rotasi
terhadap kelompok yang didiskriminasi karena adanya perubahan kalkulasi
kepentingan politik dari yang berkuasa.
Dalam suasana semacam ini, sungguh sulit untuk
menilai apakah overrepresentasi dari golongan tertentu dalam jabatan-jabatan
negara adalah hasil dari meritokrasi atau justru diskriminasi terhadap kelompok
lainnya. Demikian pula sulitnya untuk menilai apakah perubahan yang terjadi
pada proporsi distribusi jabatan-jabatan tersebut untuk golongan-golongan
tertentu adalah hasil dari diterapkannya meritokrasi, koreksi terhadap
diskriminasi, atau bahkan diskriminasi yang berbalik (reverse discrimination).
Semua proses itu biasanya dilakukan secara tertutup dan dalam kalangan yang
terbatas Seperti dalam sistem ekonomi, diskriminasi dalam sistem politik hanya bisa
dikikis dengan menciptakan sistem politik yang kompetitif dan transparan, di
mana pelaku-pelaku politik bisa dinilai secara berkala dengan luber dan jurdil.
Sistem semacam itu harus didasarkan pada sistem
kepartaian yang independen dan terbuka di mana elit politik dan massa pemilih jelas terkait. Hanya dalam sistem yang
semacam ini harga bagi perilaku diskriminasi tidak daat diabaikan oleh
pelaku-pelaku politik. Dan saya kira, dari "dialog" antara Frans Seda
dan Amien Rais, baik umat Islam maupun umat agama lain sama-sama merindukan sistem
yang demokratis dan meritokratis.
KONFLIK POLITIK PARTAI DEMOKRAT : KEGAGALAN MANAJEMEN KOMUNIKASI POLITIK PARTAI
Secara teoritis, sebagai partai pemenang kontestan pemilu, maka partai Demokrat amat layak dijadikan target atau orientasi politik partai lain sebagai pesaing untuk dikalahkan dalam pemilu berikutnya. Dalam konteks persaingan politik itulah maka distribusi pengaruh kekuatan politik selanjutnya menentukan sejauhmana peluang partai politik lain menempatkan jalan bagi sumber daya kelembagaan partainya untuk lebih memberikan peranan signifikan bagi upaya meredusir rezim pengaruh dominasi partai demokrat dalam kekuasaan politik nasional.
Upaya tersebut kerap dilekatkan pada strategi
mempengaruhi kebijakan dan proses pengambilan keputusan terkait pada
aspek-aspek yang mempengaruhi eksistensi kekuasaan baik yang berepisentrum di
eksekutif maupun di legislatif. Misalnya terkait dengan kebijakan dibidang
ekonomi, kebijakan dibidang hukum dan kebijakan-kebijakan lainnya. Termasuk
pula adalah memanfaatkan setiap peluang terhadap terjadinya konflik politik
yang dialami partai Demokrat.
Terkait dengan persoalan konflik politik yang
dialami partai demokrat saat ini, maka dalam perspektif komunikasi politik,
dinamika politik yang timbul sebagai sebuah konsekwensi diskursus komunikasi
dalam berpolitik, akan melahirkan terjadinya konflik politik yang mempengaruhi
eksistensi kelembagaan partai politik.
Dengan terjadinya konflik politik itulah maka
peta persaingan dan pengaruh distribusi persepsi dan opini publik akan
bertalian kelindan dengan ekspektasi partai politik secara alamiah yang saling
berkompetisi dalam rangka mempengaruhi dan menjaring kepercayaan publik untuk
target pemilu yang akan datang.
Oleh karenanya, menimbang sumber konflik
politik yang dialami oleh partai Demokrat saat ini, maka publik bisa
mengestimasi sejauhmana ekspektasi dan peluang partai demokrat dalam menghadapi
pemilu di tahun 2014 mendatang.
Jika partai demokrat tidak hati-hati dan gagal
mengelola manajemen konflik politik ditengah hegemoni peta persaingan antar
partai politik saat ini, maka boleh jadi partai yang satu dekade ini berkuasa,
bisa tergerus secara degradatif pada beberapa level di pemilu 2014 nanti.
Jika pun mampu bertahan dengan segala
konsekwensi akibat berbagai kasus yang dialaminya saat ini, partai demokrat
kemungkinan besar akan banyak kehilangan kader yang lompat pagar ke partai
lain. Faktor ini alamiah bagi setiap politisi jika dikaitkan dengan perspektif
naluri pasar kekuasaan yang memungkinkan dan tersedia dalam sistem rekrutment
anggota partai saat ini. Kondisi demikian akan terjadi juga karena sebagai
titik kulminasi ketidakmampuan mesin partai membangun konstruktivitas manajemen
komunikasi politik di tubuh partainya sendiri.
Secara garis besar, jika diamati berdasarkan
opini publik yang berkembang saat ini, maka kecenderungan konflik politik
partai demokrat sebenarnya bersumber dari dua faktor.
Pertama faktor subyektif problems, yakni sumber
konflik internal yang diproduksi sendiri oleh etika dan perilaku komunikasi
kader demokrat. Sumber konflik dipicu oleh terjadinya kasus dugaan korupsi
mantan Bendahara umum partai, Nazaruddin yang bereskalasi pada terbukanya
konflik politik antar sesama kader partai di internal partai demokrat.
Kedua, faktor obyektif problems, yakni faktor
yang bersumber dari lingkungan di luar partai demokrat yang salah satunya juga
di picu oleh upaya KPK membongkar dugaan skandal kolusi dan korupsi kasus wisma
Atlet Sea Games yang juga melibatkan sejumlah kader partai demokrat.
Namun kecederungan fakta opini publik di media
memunculkan analisa bahwa terjadinya konflik politik yang bersumber dari
kondisi obyektif ini, justru sebagian besar dipicu oleh respons atau reaksi
atas tidak efektifnya pola komunikasi politik partai kepada publik dalam
menyikapi kasus tersebut.
Akibat ketidakefektifan komunikasi publik
inilah dinamika persoalan kemudian berkembang menjadi konflik baik antara
partai politik lain terhadap partai demokrat, maupun konflik pemikiran yang
berasal dari kalangan pengamat, akademisi dan LSM terhadap partai demokrat
sebagai respons atas komunikasi politik yang dilakukan partai demokrat kepada
publik atas berbagai kasus yang dialami.
Dengan kata lain konflik politik yang menerpa
partai demokrat, sebenarnya dibidani sendiri kelahirannya oleh kader partai
tersebut. Tidak maksimalnya Ketua Umum, Sekjen dan kepala Divisi Komunikasi
Publik dalam berkomunikasi kepada publik, termasuk membiarkan kadernya
merespons opini secara liar telah memberikan kesimpulan bahwa sejatinya
strategi defensif program dalam komunikasi politik tidak mampu dilakukan oleh
partai secara konstruktif.
Fakta opini tersebut kemudian diperjelas dengan
kecenderungan “kegenitan eksistensi kader” yang justru menjadikan bencana
politik di tubuh partai dengan kemasan “politainment” sehingga kerap
“dimanfaatkan” media melalui narasumber yang berasal dari lingkungan diluar
partai demokrat, baik yang berasal dari kalangan politisi, pengamat maupun LSM
untuk terus mengeksploitasi konflik di tubuh partai.
Kasus pernyataan adanya “Mr. A” oleh salah
seorang kader partai yang ditengarai sebagai tokoh politik dari partai lain
yang memiliki motif akan menghancurkan partai demokrat merupakan contoh aktual
bagaimana kader partai demokrat sangat “liar” dan tidak cakap dalam melakukan counter
opinion atas berbagai serangan opini yang berasal dari luar. Hal tersebut
juga menandakan bahwa manajemen konflik politik partai sangat lemah dalam
mengantisipasi dan menyusun skenario pemulihan citra partai.
Partai demokrat melalui kader yang melempar
issue baru alpa bahwa skenario menciptakan polarisasi issue tanpa menimbang dan
mengukur sejauhmana implikasi politik, justru yang terjadi adalah isu bukan
semakin terpolarisasi namun semakin mengkristal.
Kristalisasi issue inilah yang sejatinya justru
akan menimbulkan opini baru tentang upaya publik terutama yang berasal dari
partai politik pesaing demokrat (baik yang tergabung dalam koalisi maupun
oposisi), termasuk media massa dalam mengambil opportunity terhadap
masalah yang menimpa partai demokrat.
Bagi partai politik lain, momentum tersebut
adalah peluang mengkomunikasikan dan menarik kembali akar pemilih partai yang
kadung kecewa terhadap partai demokrat melalui pendekatan retorika komitment
penegakan hukum dan etika politik dengan cara melalukan politisasi terhadap
kasus yang menimpa partai demokrat. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk
manifestasi manajemen komunikasi politik untuk tujuan merubah mindset dan
paradigma publik yang tadinya positif terhadap partai demokrat menjadi negatif,
sehingga akan menguntungkan partai politik lain terkait ekspektasinya di pemilu
2014 mendatang.
Sementara bagi media massa, momentum ini
merupakan peluang untuk lebih memberikan perspektif lain, diluar tentunya nilai
berita yang secara komersial menguntungkan. Perspektif lain tersebut misalnya
saja dikaitkan dengan upaya media untuk mengaktualisasi segi-segi otentitas
kelembagaan politik sebuah partai politik termasuk menguji otentitas politisi
partai tersebut dimata publik. Sehingga, dengan demikian masyarakat akan
semakin cerdas menelaah eksistensi sebuah partai politik dan iklim dinamika
politik dalam sudut pandang yang lebih eksplisit.
Pada akhirnya manajenen komunikasi politik
menjadi salah satu keniscayaan bagaimana kedepan, partai demokrat dan
partai-partai lainnya mampu mengelola dinamika dan konflik politik menjadi
produktif atau tidak. Sebab dengan majemen komunikasi politik yang efektif,
maka sumber daya yang dimiliki oleh partai politik akan memberikan nilai
konstruktif terkait penilaian publik terhadap existential life
cycle sebuah partai politik yang semakin baik dimata masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar