Selasa, 20 Desember 2011

Komunikasi Politik


KESENJANGAN KOMUNIKASI
Kesenjangan yang terjadi sekarang ini merupakan akibat komunikasi. Komunikasi yang sangat mempengaruhi adalah Teknologi Komunikasi. Dalam hal ini di artikan kalau media massa yang sangat berpengaruh. Semakin banyak teknologi baru, maka semakin besar pula kesenjangan yang terjadi di negara ini. Selain itu, dengan adnya teknologi baru maka semakin besar pula keterbelakangan masyarakat miskin.
Lebih lanjut ketika arus informasi media massa ke suatu sistem sosial meningkat, kelompok penduduk dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi, cenderung menerima informasi ini secara cepat dibandingkan dengan kelompok yang berstatus lebih rendah, karena itulah kesenjangan pengetahuan antara kelompak-kelompok tersebut cenderung bertambah dari pada berkurang.
Masyarakat ekonomi kurang mampu yang kebanyakan tidak bisa mengadopsi teknologi baru karena mereka berfikir bahwa mereka tidak bisa membelinya, otomatis mereka tidak bisa menggunakan teknologi dan kurang mendapatkan infromasi. Selain itu, ada masyarakat yang berusaha membelinya tetapi sebelum mereka mendapatkannya muncul lagi teknologi baru lainnya. Maka sulitlah masyarakat kecil untuk maju, jika mereka tidak bisa menggunakan teknologi baru tersebut. Sekarang yang kita harus pikirkan bagaimana cara kita untuk membantu masyarakat miskin tersebut, agar bisa mengadopsi teknologi secara baik dan berjalan lurus. Misalnya ada teknologi, mereka bisa memakai dan menggunakannya secara jalannya modernisasi?
Rogers (1974) beranggapan secara teoritis dan pragmatis hal ini amat bermanfaat untuk menggeneralisasi hipotesa kesenjaagan pengetahuaan kedalam rumusan yang lbih luas: “Upaya komunikasi yang berorientasi pada perubahan selama ini, cenderug memperlebar kesenjanagan dalam sejumlah variabel pengaruh antara unsur khalayak yang mempunyai status sosial ekonomi tinggi dengan yang berstatus di bawahnya”.
Dengan demikian, analisa hipotesa “kesenjangan akibat pengaruh komunikasi” yang tidak terbatas baik pada media massa terentu atau hanya pada pengaruh pengetahuan. Barangkali hal ini bahkan tidak perlu dibatasi pada status sosial ekonomi: variabel alternatif dapat berupa kemampuan baca tulis: keanggotaan sosial, etnis atau keagamaan minoritas; penduduk desa-kota dan yang lainnya (meskipun mungkin terdapat tumpang tindih di antara variabel-variabel tersebut dengan status sosial ekonomi).

DAMPAK KESENJANGAN KOMUNIKASI : RAGAM SISTEM KOMUNIKASI DAN DAMPAK KESENJANGAN KOMUNIKASI
Sistem politik yang bagaimanapun sifat dan bentuknya akan menampakkan pola tetap.Dalam kajian ilmu komunikasi dijumpai empat macam sistem komunikasi, yaitu sistem otoriter, sistem liberal, sistem tanggung jawab sosial dan sistem komunis.
Setiap sistem menampakkan karakter berbeda yang memberi warna dominan terhadap proses komunikasi yang berada dalam lingkup kekuasaan dan proses komunikasi yang berada dalam masyarakat.
Warna yang paling dominan terhadap sistem komunikasi yaitu perilaku para penguasa sebagai pengelola sumber-sumber komunikasi. Peran penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk mencapai kebaikan publik.
Pemikiran-pemikiran yang melegitimasi kekuasaan absolut tidak dapat bertahan, terutama setelah lahir beberapa pemikiran tentang pemisahan kekuasaan.
Pemecahan untuk mewujudkan masyarakat yang stabil ditawarkan suatu konsep pemikiran tentang liberalisme. Pemecahan secara liberal mengandung makna, bahwa negara mengadakan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh suatu lembaga yang menyalurkan aspirasi rakyat yaitu lembaga legislatif.
Tawaran pemecahan secara liberal pada dasarnya merupakan warna tersendiri dalam demokrasi, karena demokrasi liberal mempunyai tanda-tanda spesifik.
Kebebasan dalam kesertaan mengelola media massa tampak jelas dalam sistem liberal sebagai sifat yang berseberangan dengan sistem totaliter atau sistem komunis.
Sistem social responsibility belum dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem, karena tidak ada satu negara pun yang mengaktualisasikan sistem ini.
Kondisi disintegratif dan tuntutan penggantian sistem nilai (reformasi) sebagai akibat sikap perilaku elit berkuasa yang berorientasi kepada kepentingan pribadi dan sifat perlakuan diskriminatif.
Dua komponen dasar yang mendorong timbulnya perombakan total (revolusi), yaitu: pertama, tuntutan emansipasi untuk perbaikan hidup, dan kedua tuntutan masyarakat tentang moral.
Oleh sebab itu perombakan sebagai produk elit infrastruktur yang merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan elit berkuasa, karena setiap kebijaksanaan tidak mampu mengakomodasikan kepentingan-kepentingan elit infrastruktur.
Persaingan (competition) merupakan proses di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bersaing mencari keuntungan.
Pada akhirnya terjadinya revolusi, konflik dan persaingan bermuara pada dampak kurangnya komunikasi atau informasi yang sampai pada infrastruktur komunikasi

OPINI: KOMPETISI POLITIK dan DISKRIMINASI
Oleh Andi A. Mallarangeng
Mahasiswa S3 bidang Ilmu Politik Northern Illionis University Amerika Serikat

Pada sistem ekonomi maupun politik yang tidak kompetitif seperti di Indonesia, harga yang harus dibayar untuk melakukan diskriminasi terhadap golongan tertentu tidaklah seberapa dan karena itu cenderung diabaikan. Di dalam sistem ekonomi yang monopolitik serta diwarnai dengan pemberian kontrak proyek negara dan lisensi yang non-kompetitif dan kolusif seperti ini seringkali kita dengar keluhan-keluhan tentang adanya diskriminasi dalam promosi yang berdasarkan ras, agama, atau pun suku. Secara ada glass ceiling bagi mereka yang berbeda ras, agama, ataupun suku dengan pemilik perusahaan.
Pada sistem politik kita, baik politik pada tingkat elektoral maupun politik pada tingkat elit sangat tidak kompetitif. Kalau pun suhu politik nampak memanas dalam mengantisipasi proses suksesi kepemimpinan nasional, persaingan politik yang kompetitif tidaklah nampak, dan kalaupun ada bersifat elitis dan tidak berhubungan dengan masa pemilih. Dalam sistem politik semacam ini, rekrutment dan promosi pejabat-pejabat negara cenderung bersifat like and dislike, menurut agenda mereka yang berkuasa. Ketika agenda itu berdampak secara sistematis pada sesuatu kelompok atau golongan, agenda itu menjadi diskriminatif
Pada sistem yang nonkompetitif semacam ini, tidak ada mekanisme yang memaksa mereka yang berkuasa untuk bersikap non-diskriminatif, bahkan terhadap golongan mayoritas. Kalau pun ada perubahan dalam agenda politik yang berkuasa, perubahan itu cenderung berdampak rotasi terhadap kelompok yang didiskriminasi karena adanya perubahan kalkulasi kepentingan politik yang berkuasa, perubahan itu cenderung berdampak rotasi terhadap kelompok yang didiskriminasi karena adanya perubahan kalkulasi kepentingan politik dari yang berkuasa.
 Dalam suasana semacam ini, sungguh sulit untuk menilai apakah overrepresentasi dari golongan tertentu dalam jabatan-jabatan negara adalah hasil dari meritokrasi atau justru diskriminasi terhadap kelompok lainnya. Demikian pula sulitnya untuk menilai apakah perubahan yang terjadi pada proporsi distribusi jabatan-jabatan tersebut untuk golongan-golongan tertentu adalah hasil dari diterapkannya meritokrasi, koreksi terhadap diskriminasi, atau bahkan diskriminasi yang berbalik (reverse discrimination). Semua proses itu biasanya dilakukan secara tertutup dan dalam kalangan yang terbatas Seperti dalam sistem ekonomi, diskriminasi dalam sistem politik hanya bisa dikikis dengan menciptakan sistem politik yang kompetitif dan transparan, di mana pelaku-pelaku politik bisa dinilai secara berkala dengan luber dan jurdil.
 Sistem semacam itu harus didasarkan pada sistem kepartaian yang independen dan terbuka di mana elit politik dan massa pemilih jelas terkait. Hanya dalam sistem yang semacam ini harga bagi perilaku diskriminasi tidak daat diabaikan oleh pelaku-pelaku politik. Dan saya kira, dari "dialog" antara Frans Seda dan Amien Rais, baik umat Islam maupun umat agama lain sama-sama merindukan sistem yang demokratis dan meritokratis.

KONFLIK POLITIK PARTAI DEMOKRAT : KEGAGALAN MANAJEMEN KOMUNIKASI POLITIK PARTAI

Secara teoritis, sebagai partai pemenang kontestan pemilu, maka partai Demokrat amat layak dijadikan target atau orientasi politik partai lain sebagai pesaing untuk dikalahkan dalam pemilu berikutnya. Dalam konteks persaingan politik itulah maka distribusi pengaruh kekuatan politik selanjutnya menentukan sejauhmana peluang partai politik lain menempatkan jalan bagi sumber daya kelembagaan partainya untuk lebih memberikan peranan signifikan bagi upaya meredusir rezim pengaruh dominasi partai demokrat dalam kekuasaan politik nasional.

Upaya tersebut kerap dilekatkan pada strategi mempengaruhi kebijakan dan proses pengambilan keputusan terkait pada aspek-aspek yang mempengaruhi eksistensi kekuasaan baik yang berepisentrum di eksekutif maupun di legislatif. Misalnya terkait dengan kebijakan dibidang ekonomi, kebijakan dibidang hukum dan kebijakan-kebijakan lainnya. Termasuk pula adalah memanfaatkan setiap peluang terhadap terjadinya konflik politik yang dialami partai Demokrat.
Terkait dengan persoalan konflik politik yang dialami partai demokrat saat ini, maka dalam perspektif komunikasi politik, dinamika politik yang timbul sebagai sebuah konsekwensi diskursus komunikasi dalam berpolitik, akan melahirkan terjadinya konflik politik yang mempengaruhi eksistensi kelembagaan partai politik.
Dengan terjadinya konflik politik itulah maka peta persaingan dan pengaruh distribusi persepsi dan opini publik akan bertalian kelindan dengan ekspektasi partai politik secara alamiah yang saling berkompetisi dalam rangka mempengaruhi dan menjaring kepercayaan publik untuk target pemilu yang akan datang.
Oleh karenanya, menimbang sumber konflik politik yang dialami oleh partai Demokrat saat ini, maka publik bisa mengestimasi sejauhmana ekspektasi dan peluang partai demokrat dalam menghadapi pemilu di tahun 2014 mendatang.
Jika partai demokrat tidak hati-hati dan gagal mengelola manajemen konflik politik ditengah hegemoni peta persaingan antar partai politik saat ini, maka boleh jadi partai yang satu dekade ini berkuasa, bisa tergerus secara degradatif pada beberapa level di pemilu 2014 nanti.
Jika pun mampu bertahan dengan segala konsekwensi akibat berbagai kasus yang dialaminya saat ini, partai demokrat kemungkinan besar akan banyak kehilangan kader yang lompat pagar ke partai lain. Faktor ini alamiah bagi setiap politisi jika dikaitkan dengan perspektif naluri pasar kekuasaan yang memungkinkan dan tersedia dalam sistem rekrutment anggota partai saat ini. Kondisi demikian akan terjadi juga karena sebagai titik kulminasi ketidakmampuan mesin partai membangun konstruktivitas manajemen komunikasi politik di tubuh partainya sendiri.
Secara garis besar, jika diamati berdasarkan opini publik yang berkembang saat ini, maka kecenderungan konflik politik partai demokrat sebenarnya bersumber dari dua faktor.
Pertama faktor subyektif problems, yakni sumber konflik internal yang diproduksi sendiri oleh etika dan perilaku komunikasi kader demokrat. Sumber konflik dipicu oleh terjadinya kasus dugaan korupsi mantan Bendahara umum partai, Nazaruddin yang bereskalasi pada terbukanya konflik politik antar sesama kader partai di internal partai demokrat.
Kedua, faktor obyektif problems, yakni faktor yang bersumber dari lingkungan di luar partai demokrat yang salah satunya juga di picu oleh upaya KPK membongkar dugaan skandal kolusi dan korupsi kasus wisma Atlet Sea Games yang juga melibatkan sejumlah kader partai demokrat.
Namun kecederungan fakta opini publik di media memunculkan analisa bahwa terjadinya konflik politik yang bersumber dari kondisi obyektif ini, justru sebagian besar dipicu oleh respons atau reaksi atas tidak efektifnya pola komunikasi politik partai kepada publik dalam menyikapi kasus tersebut.
Akibat ketidakefektifan komunikasi publik inilah dinamika persoalan kemudian berkembang menjadi konflik baik antara partai politik lain terhadap partai demokrat, maupun konflik pemikiran yang berasal dari kalangan pengamat, akademisi dan LSM terhadap partai demokrat sebagai respons atas komunikasi politik yang dilakukan partai demokrat kepada publik atas berbagai kasus yang dialami.
Dengan kata lain konflik politik yang menerpa partai demokrat, sebenarnya dibidani sendiri kelahirannya oleh kader partai tersebut. Tidak maksimalnya Ketua Umum, Sekjen dan kepala Divisi Komunikasi Publik dalam berkomunikasi kepada publik, termasuk membiarkan kadernya merespons opini secara liar telah memberikan kesimpulan bahwa sejatinya strategi defensif program dalam komunikasi politik tidak mampu dilakukan oleh partai secara konstruktif.
Fakta opini tersebut kemudian diperjelas dengan kecenderungan “kegenitan eksistensi kader” yang justru menjadikan bencana politik di tubuh partai dengan kemasan “politainment” sehingga kerap “dimanfaatkan” media melalui narasumber yang berasal dari lingkungan diluar partai demokrat, baik yang berasal dari kalangan politisi, pengamat maupun LSM untuk terus mengeksploitasi konflik di tubuh partai.
Kasus pernyataan adanya “Mr. A” oleh salah seorang kader partai yang ditengarai sebagai tokoh politik dari partai lain yang memiliki motif akan menghancurkan partai demokrat merupakan contoh aktual bagaimana kader partai demokrat sangat “liar” dan tidak cakap dalam melakukan counter opinion atas berbagai serangan opini yang berasal dari luar. Hal tersebut juga menandakan bahwa manajemen konflik politik partai sangat lemah dalam mengantisipasi dan menyusun skenario pemulihan citra partai.
Partai demokrat melalui kader yang melempar issue baru alpa bahwa skenario menciptakan polarisasi issue tanpa menimbang dan mengukur sejauhmana implikasi politik, justru yang terjadi adalah isu bukan semakin terpolarisasi namun semakin mengkristal.
Kristalisasi issue inilah yang sejatinya justru akan menimbulkan opini baru tentang upaya publik terutama yang berasal dari partai politik pesaing demokrat (baik yang tergabung dalam koalisi maupun oposisi), termasuk media massa dalam mengambil opportunity terhadap masalah yang menimpa partai demokrat.
Bagi partai politik lain, momentum tersebut adalah peluang mengkomunikasikan dan menarik kembali akar pemilih partai yang kadung kecewa terhadap partai demokrat melalui pendekatan retorika komitment penegakan hukum dan etika politik dengan cara melalukan politisasi terhadap kasus yang menimpa partai demokrat. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk manifestasi manajemen komunikasi politik untuk tujuan merubah mindset dan paradigma publik yang tadinya positif terhadap partai demokrat menjadi negatif, sehingga akan menguntungkan partai politik lain terkait ekspektasinya di pemilu 2014 mendatang.
Sementara bagi media massa, momentum ini merupakan peluang untuk lebih memberikan perspektif lain, diluar tentunya nilai berita yang secara komersial menguntungkan. Perspektif lain tersebut misalnya saja dikaitkan dengan upaya media untuk mengaktualisasi segi-segi otentitas kelembagaan politik sebuah partai politik termasuk menguji otentitas politisi partai tersebut dimata publik. Sehingga, dengan demikian masyarakat akan semakin cerdas menelaah eksistensi sebuah partai politik dan iklim dinamika politik dalam sudut pandang yang lebih eksplisit.
Pada akhirnya manajenen komunikasi politik menjadi salah satu keniscayaan bagaimana kedepan, partai demokrat dan partai-partai lainnya mampu mengelola dinamika dan konflik politik menjadi produktif atau tidak. Sebab dengan majemen komunikasi politik yang efektif, maka sumber daya yang dimiliki oleh partai politik akan memberikan nilai konstruktif terkait penilaian publik terhadap existential life cycle sebuah partai politik yang semakin baik dimata masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar